BERBAGI INFORMASI & INSPIRASI
Di tahun 2030, dunia telah menjadi panggung utama persaingan teknologi dan keamanan siber antara negara-negara maju. Di tengah ketegangan geopolitik dan perlombaan inovasi, bangsa ini menyimpan sebuah cerita heroik tentang DAO yang membantu negara menghadapi tantangan besar terkait dengan kebocoran data akibat serangan hacker dan perjudian serta pinjaman online yang tidak terkendali.
DAO atau Decentralized Autonomous Organization adalah entitas tanpa kepemimpinan yang terpusat. DAO bekerja tanpa manajemen hierarkis dan diatur oleh komunitas yang diorganisir di dalam kerangka aturan tertentu yang diberlakukan pada blockchain. Awalnya mereka terbentuk dari kelompok fundraisingdan charity atau organisasi amal yang dapat menerima donasi dari siapa pun di dunia.
Bahkan mereka sudah dianggap sebagai sebuah kekuatan ekonomi baru dengan sumber daya teknologi yang maju dan telah menetapkan strategi penting dalam membangun keunggulan dalam menghadapi masalah-masalah ini. Pemerintah kita menyadari bahwa keamanan siber dan penggunaan teknologi yang cerdas adalah kunci untuk menjaga stabilitas dalam negeri serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Namun ternyata tidak semua pengambil kebijakan di negeri ini yang mengerti bagaimana bisa mengorkestrasi kekuatan non pemerintah seperti DAO ini untuk terlibat dalam menghadapi masalah negara ini. Seperti halnya di negara adidaya seperti US dan China yang rutin meluncurkan “Proyek Kolaborasi” untuk memperkuat pertahanan siber negara. Dimana mereka menginvestasikan dana besar dalam teknologi keamanan terbaru dan melatih ribuan ahli keamanan siber untuk melindungi infrastruktur kritis dan data sensitif negara dari serangan hacker yang semakin canggih.
Regulasi yang ketat diterapkan untuk mengontrol dan mengatur industri perjudian online yang tumbuh pesat dan pinjaman online yang kadang-kadang merugikan. Idealnya sebuah negara memang harus mampu memastikan bahwa setiap penyedia layanan harus memenuhi standar keamanan data yang tinggi, membatasi akses, dan melindungi konsumen dari praktik yang tidak adil. Maka ada baiknya negara mulai membangun aliansi global untuk bertukar informasi tentang ancaman siber dan strategi perlindungan data.
Syarat utama dalam kerjasama global adalah negara harus memimpin dan mengendalikan serta menyiapkan arsitektur dasar data strategis geopolitik nasional serta kawasan. Maka diperlukan upaya untuk mengembangkan standar nasional baru dalam keamanan cyber dengan cara mengadopsi pola negara-negara lain dalam hal memperkuat pertahanan mereka. Dimana pendidikan dan kesadaran publik menjadi fokus utama dalam upaya bangsa ini untuk membangun ketahanan terhadap serangan siber.
Pembobolan PDN (Pusat Data Nasional) yang terjadi bisa saja bermula dari kontrak penyimpanan plus pengolahan data pemilu Indonesia oleh kerjasama institusi atau korporasi global yang tidak mampu sepenuhnya dikendalikan oleh negara. Pernyataan Menkeu Sri Mulyani tentang anggaran PDN sebesar Rp 700 miliar yang dikelola oleh Kemenkominfo sebaiknya dibuat transparan agar semua pihak bisa membantu menguatkan kapabilitas negara dalam menghadang cybercrime.
Kekurangsigapan dalam menghadapi serangan ini bertambah dengan kejadian serupa yang menimpa BAIS (Badan Intelejen dan Strategis) TNI yang notabene organisasi fundamental pertahanan negara yang bertugas menyuplai analisa data intelijen dan strategis terkait pertahanan terutama dinamika dari negara lain. Hal ini terbukti dengan langkah TNI untuk menonaktifkan server BAIS sebagai langkah tercepat dan termudah.
Kejadian serupa dalam waktu berdekatan juga menimpa institusi Negara lainnya, Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (INAFIS) milik Polri yang terdeteksi terjual di pasar gelap darkweb. Rentetan peretasan ini membuktikan kelemahan pertahanan siber Negara memiliki celah menganga untuk para hacker menjalankan aksi cybercrime. Sehingga negara perlu dengan segera mengambil langkah-langkah nyata untuk mengembangkan keamanan cyber nasional yang kuat dan efektif.
Saat ini kita jęłaś tidak bisa menolak serangan cyber dari luar negeri yang mencoba untuk merusak infrastruktur penting di negri ini. Namun kejujuran pemerintah untuk membangun kekuatan kolektif bersama rakyat. Misalnya kelompok DAO yang sebenarnya bisa dilibatkan dalam kampanye nasional untuk meningkatkan literasi digital masyarakat dan mengedukasi mereka tentang risiko perjudian online dan bahaya pinjaman online yang tidak terkendali.
Negara seharusnya belajar cepat dari kejadian yang tidak lama baru saja terjadi di BSI, dimana DAO Rusia Lockbit melalui dark web mengklaim telah mengambil 15 juta data pribadi nasabah dan pegawai sebesar 1,5 terabyte. Pelajaran bahwa negara khususnya Badan Siber dan Sandi Negara sangat memerlukan sistem keamanan yang kuat yang dengan cepat dan efektif. Saat ini BSSN hanya dijatah Rp624 miliar oleh negara, sangat jauh jika dibanding anggaran US untuk keamanan siber sebesar Rp161 triliun.
Pola berbeda dengan China yang membiarkan korporasi Alibaba melenggang dalam regulasi agar bisa membantu pemerintah menjadi negara adidaya teknologi dan menguasai semua turunan teknologi teknologi informasi global. US dan China sama-sama melakukan cipta kondisi demi memenangkan kepercayaan publik dan mendapatkan dukungan luas untuk kebijakan-kebijakan mereka. Semoga negara mampu mengatasi tantangan kompleks ini dengan juga melibatkan kelompok DAO yang berkomitmen pada nilai-nilai keamanan dan transparansi.